“Senang dapat berjumpa denganmu lagi” ucap Alex Honnold kepada Jimmy Chin selepas ia mencapai puncak tebing El Capitan. Banyak penonton bernapas lega ketika melihat Alex berdiri di atas El Cap, dan tak sedikit pula yang terkaget-kaget. Wajar saja, tebing yang baru dipanjatnya adalah The Mighty El Cap, tebing setinggi 900+ meter yang berdiri gagah di Taman Nasional Yosemite. Sudah tak terhitung jumlah pemanjat yang berhasil mencapai puncak El Capitan, karena toh, tebing tersebut sudah ditaklukan sejak 1958. Namun, yang membuat project Alex Honnold spesial bukanlah mencapai puncak dari El Capitan itu sendiri, melainkan: ia melakukannya secara free solo.
Lazimnya, panjat tebing dilakukan dengan berbagai
macam alat yang menjamin keselamatan pemanjat. Dari tali,
harness, belay
device hingga runner dan quickdraw, semuanya merupakan alat pengaman esensial yang
diperlukan dalam memanjat tebing. Namun, dalam free soloing, tak satupun dari alat tersebut digunakan. Jika anda
terjatuh, maka anda akan jatuh ke tanah karena pemanjat tidak menggunakan
satupun safety device. Alex Honnold menyelesaikan rute Freerider di tebing El Capitan dalam waktu empat jam, dengan
hanya bermodalkan pakaian yang dikenakan, sepatu panjat dan chalk bag berisikan magnesium karbonat yang berfungsi untuk mengeringkan tangan. Walaupun
terdengar gila, di tahun 2017, Alex Honnold benar-benar berhasil memanjat
tebing vertikal El Cap setinggi 900+ meter, tanpa menggunakan tali pengaman.
Setidaknya di Amerika, pencapaian Alex Honnold tersebut sudah mencapai mainstream, karena project free soloing El Cap-nya diabadikan dalam sebuah film berjudul Free Solo. Film dokumenter tersebut disutradarai oleh Jimmy Chin dan berhasil memenangkan piala Oscar 2019 sebagai best documentary feature. Namun, tidak adil rasanya jika hanya Alex yang mendapatkan paparan mainstream sebesar itu, karena ekspedisi dunia sport climbing pun tidak kalah ambisius. Spesifiknya, tulisan ini akan memperkenalkan seorang pemanjat elit dunia bernama Adam Ondra, sembari memberikan penjelasan singkat tentang panjat tebing sebagai olahraga.
Adam Ondra sering digadang-gadangkan sebagai pemanjat terbaik di generasinya. Ia lahir di Brno, Cekoslovakia, pada tanggal 5
Februari 1993. Berbeda dengan Alex Honnold, Adam Ondra bukanlah pemanjat yang
dikenal melalui project free solo-nya. Ia lebih dikenal sebagai
pemanjat jangkung berbadan lentur yang gemar berteriak sekuat tenaga, dengan
gaya panjat mendetil dan out of the box.
Sebelum membahas Adam Ondra lebih dalam, pertama-tama kita harus mengerti
beberapa konsep penting mengenai panjat tebing. Apa itu sport climbing?
Penjelasan singkat: alpinisme vs sport climbing
Alpinisme (mountaineering) dan sport climbing adalah contoh manifestasi
pepatah “bagai pinang dibelah dua”. Keduanya memiliki banyak persamaan dan
bukan hal aneh jika definisi dari alpinisme dan sport climbing seringkali tertukar. Dalam tataran ideal, keduanya
sama-sama berusaha untuk menaklukan tantangan sambil menjaga kelestarian alam.
Dalam ranah teknis, alpinisme dan sport
climbing sama-sama mengharamkan penggunaan alat bantu
artifisial ─ seperti piton atau fixed
rope ─ dalam melakukan ascent.
Meski keduanya memiliki banyak kemiripan ide dan
praktek, namun alpinisme dan sport
climbing dipisahkan oleh perbedaan mendasar. Prinsip fundamental yang perlu
digarisbawahi dalam alpinisme adalah; yang penting menginjakkan kaki di puncak.
Hematnya, pemahaman mengenai prinsip alpinisme dapat dirangkum dalam satu
pertanyaan: kalau anda bisa mencapai puncak El Capitan lewat jalur belakang
dengan berjalan kaki, kenapa harus repot-repot memanjat tebing vertikalnya?
Di situlah letak perbedaan antara alpinisme dengan sport climbing. Motivasi alpinisme adalah mencapai puncak, sedangkan sport climbing lebih menitikberatkan
tingkat kesulitan. Dengan lahirnya sport
climbing, poin utama kegiatan memanjat ─ yang mulanya bertujuan untuk
mencapai puncak dari fitur geografis suatu tempat ─ bergeser menjadi: mencapai top (titik akhir rute panjat) dari suatu
jalur panjat spesifik.
Titik top
dari rute sport climbing tidak harus
berakhir di titik puncak suatu tebing. Jalur panjat bisa saja selesai di
tengah-tengah/bawah tebing. Sebagai contoh: panjang jalur Putih di Tebing Panjat
Ciampea Bogor dari start-top adalah ±
7 meter, sedangkan tinggi dari tebingnya sendiri lebih dari 20 meter.
Meski terdapat banyak ascent yang melibatkan panjat tebing, namun falsafah alpinisme
mendominasi mazhab sport climbing ─
setidaknya hingga tahun 70 dan 80-an. Dunia panjat tebing berkembang pesat
pasca dasawarsa 1970–an, bahkan dapat kita katakan bahwa sport climbing modern lahir di era tersebut. Figur yang berperan
besar disini adalah Kurt Albert, seorang pemanjat yang dilahirkan tahun 1954 di
Nürnberg, Jerman. Beliau merupakan seorang pemanjat tebing yang pertama kali
mencetuskan konsep Rotpunkt (redpoint).
Revolusi redpoint
Rotpunkt (redpoint) adalah komposita Bahasa Jerman yang terdiri dari dua
kata, yaitu rot (merah) dan Punkt
(titik). Jika anda bertanya-tanya mengapa saya mencantumkan penjelasan semantis
di dalam artikel bertemakan panjat tebing, mohon berikan saya waktu untuk
menjelaskan redpoint. Semuanya diinisiasi oleh Kurt Albert di Frankenjura,
Jerman, tahun 1975.
Di tahun 1975, Kurt Albert mulai menandakan beberapa
jalur panjat Frankenjura dengan titik merah (Rotpunkt). Titik merah tersebut dimaksudkan sebagai penanda bahwa
ia telah berhasil menyelesaikan rute tersebut secara free
climb. Free climb merupakan istilah yang
digunakan untuk metode panjat yang hanya memanfaatkan fitur alami tebing, tanpa
alat bantu artifisial. Berbeda dengan aid
climbing, alat
yang digunakan dalam free climbing hanya
digunakan sebagai pengaman untuk menjaga keselamatan pemanjat.
Yang mulanya hanyalah sebuah banyolan, titik merah yang disematkan Kurt Albert tersebut justru
berangsur-angsur mengubah struktur dan sistem sport climbing secara radikal. Dari segi teknis, tidak terdapat
perbedaan berarti di antara redpoint
dengan metode panjat
tebing yang sudah ada sebelumnya ─ cara memanjatnya tetap sama, pun begitu
dengan alat yang digunakan. Namun, revolusi redpoint
terletak di: pendekatan serta pola pikir pemanjat dalam melakukan ascent.
Sebelum adanya konsep redpoint, proses riset dan latihan untuk menyelesaikan suatu rute
panjat bukanlah praktek yang lumrah dijalankan. Riset yang dimaksud disini
adalah proses mempelajari beta
(langkah teknis menyelesaikan suatu bagian jalur panjat; gerakan, cara memegang
hold, dll.). Riset dapat dilakukan
dengan cara mencontek beta milik
orang yang sudah menyelesaikan jalur tersebut, atau anda juga bisa memilih
untuk menguliknya sendiri. Yang jelas, redpoint
harus dilakukan sekali jalan tanpa terjatuh, dan jika anda terjatuh, maka
anda harus mengulang dari awal.
Semuanya akan lebih mudah jika pemanjat mengikuti beta orang yang sudah menyelesaikan
suatu jalur. Tapi, suatu beta tidak
melulu dapat dilakukan oleh semua orang karena masing-masing pemanjat memiliki
gaya memanjatnya sendiri, serta kondisi fisik yang berbeda pula (tinggi badan,
jangkauan, endurance, dll.). Dengan
lahirnya redpoint, trial and error suatu beta secara otomatis masuk kedalam
proses ascent.
Free climb:
flash dan onsight
Disamping redpoint, flash
dan onsight juga merupakan konsep yang wajib dipahami dalam sport climbing. Baik redpoint, flash maupun onsight, semuanya dilakukan secara free climb. Perbedaan dari ketiganya ada
di; pengetahuan pemanjat ketika melakukan ascent.
Jika dalam redpoint pemanjat
boleh mempelajari dan mencoba beta dari
suatu rute sebelum percobaan memanjat, lain kasusnya dengan flash dan onsight.
Dalam percobaan onsight,
pemanjat tidak memiliki pengetahuan apapun soal beta. Pemanjat hanya perlu datang ke jalur tersebut, memperhatikan
pegangan yang ada di tebing dan melakukan visualisasi mengenai bagaimana sekiranya
ia harus memanjat. Jika pemanjat
berhasil mencapai top dalam percobaan
pertama tanpa pengetahuan beta sedikitpun,
maka ascent tersebut dapat
digolongkan sebagai onsight.
Tidak begitu berbeda dengan onsight, flash pun
merupakan istilah yang digunakan untuk ascent
percobaan pertama. Namun, berbeda
dengan onsight, pemanjatan flash memperbolehkan sedikit pengetahuan
beta. Jika pemanjat sudah melihat
beta milik orang lain; misal lewat
video/melihat langsung, atau jika pemanjat diberitahukan cara memanjat jalur
tertentu oleh orang yang sudah berhasil menyelesaikan jalur tersebut, maka
percobaan pertama tersebut digolongkan sebagai flash attempt.
Grade tebing panjat
Masing-masing jalur panjat tebing memiliki grade yang menggambarkan
kesulitannya. Semakin besar angkanya, maka semakin tinggi tingkat kesulitannya.
Dalam rock
climbing, terdapat dua sistem yang lazimnya digunakan untuk menggambarkan
grade suatu rute, yaitu
Yosemite Decimal System (YDS) dan French Scale. Penulisan artikel ini hanya
menggunakan YDS, karena sistem tersebut digunakan di Indonesia.
Grade YDS dituliskan dengan satu angka (1-5) yang menggambarkan klasifikasi
berdasarkan tingkat kesulitan. Angka 1-4 digunakan khusus untuk jalur daki yang
masih tergolong kedalam trekking.
Angka 1 memiliki arti bahwa rute tersebut datar dan mudah, sedangkan angka 2
menggambarkan bahwa jalurnya terjal. Angka 3 lebih sulit dari angka 2, dan
angka 4 lebih sulit dari angka 3. Pengecualian dalam YDS berlaku untuk angka 5,
karena angka 5 merupakan kategori khusus untuk rute sport climbing. Dengan begitu, grade 5 dalam YDS memiliki sub-kategori
─ dituliskan dalam bentuk angka setelah tanda titik (5.1, 5.2, 5.3, dan
seterusnya).
Meski YDS dan French Scale berbeda, namun prasyarat
untuk menentukan grade suatu jalur harus melalui proses yang sama. Grade dari
suatu rute diajukan oleh pemanjat
yang berhasil melakukan first ascent (pemanjatan sukses pertama) dengan mempertimbangkan
setiap hal relevan yang menyebabkan suatu jalur diberikan grade tertentu.
Setelah adanya first ascent, bukan
berarti bahwa rute tersebut otomatis akan memiliki grade sesuai dengan yang
diajukan, karena terdapat tahap konfirmasi. Konfirmasi dilakukan oleh pemanjat lain yang berhasil melakukan repeat. Repeat merupakan istilah yang digunakan untuk pemanjatan sukses
kedua dan seterusnya.
Sebagai contoh, pemanjat A melakukan first ascent jalur DOREMI, dan dengan
segala pertimbangan, ia mengajukan grade 5.10 sebagai tingkat kesulitan rute
tersebut. Kemudian pemanjat B melakukan repeat.
Pemanjat B dapat mengkonfirmasi apakah jalur tersebut benar-benar memiliki
grade 5.10. Tahap konfirmasi adalah tahap yang penting dalam menentukan grade
jalur, karena disitu nama baik pemanjat first
ascent dipertaruhkan. Jika pemanjat B setuju bahwa grade jalur DOREMI
adalah 5.10, maka grade 5.10 akan menjadi grade resmi. Namun, jika pemanjat B
merasa bahwa rute DOREMI tidak sesulit/semudah 5.10, maka jalur DOREMI akan di-upgrade/downgrade. Jika kedua pemanjat
tidak menemukan konsensus, biasanya suatu rute akan memiliki dua grade
tertulis. Contoh: Pemanjat B merasa bahwa jalur DOREMI seharusnya memiliki
grade 5.9, maka grade resmi dari jalur DOREMI adalah 5.9/5.10, yang berarti;
grade jalur DOREMI berada di antara 5.9 dan 5.10.
Adam Ondra dan pencapaiannya
Setelah
mendapatkan gambaran soal panjat tebing, kita akan menyelam ke dalam pencapaian
Adam Ondra. Pertama-tama, mari kita bandingkan Adam dengan Alex Honnold. Redpoint tersulit yang pernah
diselesaikan Alex Honnold adalah Arrested Development di Amerika dengan grade 5.14d. Sedangkan Adam telah
mengantongi 3 onsight untuk grade
setara. TCT,
Il Domani dan La Cabane Au Canada adalah 3 rute grade 5.14d yang telah diselesaikan Adam
secara onsight. Untuk flash ascent, Adam berhasil menaklukan
grade 5.15a, rute Super Crackinette.
Pencapaian tertinggi Adam terjadi di tahun 2017 ketika
ia berhasil melakukan first ascent
rute bernama Silence di Flatanger, Norwegia. Silence adalah tebing overhang sepanjang ± 45 meter dengan
sudut kemiringan ± 30 derajat. Untuk melewati crux (bagian tersulit) dari Silence, Adam harus memanjat dengan
kaki di atas karena pegangan di bagian tersebut mustahil untuk digapai dengan
tangan. Meski belum terkonfirmasi ─ karena belum ada yang berhasil melakukan repeat ─ Adam mengatakan bahwa grade dari
Silence adalah 5.15d. Ia merupakan satu-satunya pemanjat yang telah berhasil
menaklukan grade 5.15d ─ setidaknya hingga Agustus 2020, ketika Alexander Megos berhasil menaklukan Bibliographie (5.15d) di Céüse, Perancis.
Dengan begitu, redpoint
Alex dan Adam dipisahkan oleh tiga grade, yaitu 5.15a, 5.15b dan 5.15c.
Dengan kata lain, Alex Honnold berdiri 4 level dibawah Adam Ondra. Mungkin
empat level tidak terdengar signifikan, namun dalam konteks tingkat kesulitan
rute panjat, empat level itu selayaknya bumi dan langit.
Mari kita gunakan pendekatan statistik untuk memahami
betapa signifikannya empat level grade panjat. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh majalah Rock
and Ice, per 4 Februari
2020, hanya ada ± 300 orang yang telah berhasil menyelesaikan rute panjat
dengan grade 5.15. Sebagai pembanding, puncak Everest pernah dijajaki oleh 5000 orang. Sedangkan puncak K2 ─ yang menurut NASA merupakan puncak tersulit ke-2
setelah Annapurna I
─ telah didaki oleh lebih dari 350 orang. Dapat dikatakan bahwa pemanjat yang
berhasil menyelesaikan rute grade 5.15 hanyalah pemanjat elit dunia.
Saat artikel ini ditulis, hanya ada 5 orang yang telah
berhasil memanjat rute dengan grade 5.15c, yaitu: Adam Ondra, Chris Sharma,
Alexander Megos, Jakob Schubert dan Stefano Ghisolfi. Tahukah anda bahwa 12 orang telah menginjakkan kaki di
Bulan? Ya, secara
statistik, menyelesaikan grade 5.15c itu dua kali lebih mustahil daripada pergi
ke bulan. Sudahkah anda paham mengapa perbedaan empat level itu selayaknya bumi
dan langit?
Hingga artikel ini terbit, hanya ada empat rute panjat
dengan grade 5.15c di seluruh dunia: La
Dura Dura di Oliana,
Spanyol; Change di Flatanger, Norwegia; Vasil
Vasil di Brno,
Cekoslovakia, dan; Perfecto Mundo di
Margalef, Spanyol. Dari keempat rute
tersebut, Adam sudah menaklukan ketiganya, dan pada saat artikel ini
ditulis ia tengah menjalani project
Perfecto Mundo ─ meski masih belum berhasil. Satu-satunya pemanjat
lain yang telah menyelesaikan lebih dari satu 5.15c adalah Stefano Ghisolfi ─
ia berhasil menyelesaikan Perfecto Mundo dan Change.
0 comment(s):
Post a Comment