maman

16 March 2021

Adam Ondra dalam A-B-C-D Sport Climbing

“Senang dapat berjumpa denganmu lagi” ucap Alex Honnold kepada Jimmy Chin selepas ia mencapai puncak tebing El Capitan. Banyak penonton bernapas lega ketika melihat Alex berdiri di atas El Cap, dan tak sedikit pula yang terkaget-kaget. Wajar saja, tebing yang baru dipanjatnya adalah The Mighty El Cap, tebing setinggi 900+ meter yang berdiri gagah di Taman Nasional Yosemite. Sudah tak terhitung jumlah pemanjat yang berhasil mencapai puncak El Capitan, karena toh, tebing tersebut sudah ditaklukan sejak 1958. Namun, yang membuat project Alex Honnold spesial bukanlah mencapai puncak dari El Capitan itu sendiri, melainkan: ia melakukannya secara free solo.

Lazimnya, panjat tebing dilakukan dengan berbagai macam alat yang menjamin keselamatan pemanjat. Dari tali, harness, belay device hingga runner dan quickdraw, semuanya merupakan alat pengaman esensial yang diperlukan dalam memanjat tebing. Namun, dalam free soloing, tak satupun dari alat tersebut digunakan. Jika anda terjatuh, maka anda akan jatuh ke tanah karena pemanjat tidak menggunakan satupun safety device. Alex Honnold menyelesaikan rute Freerider di tebing El Capitan dalam waktu empat jam, dengan hanya bermodalkan pakaian yang dikenakan, sepatu panjat dan chalk bag berisikan magnesium karbonat yang berfungsi untuk mengeringkan tangan. Walaupun terdengar gila, di tahun 2017, Alex Honnold benar-benar berhasil memanjat tebing vertikal El Cap setinggi 900+ meter, tanpa menggunakan tali pengaman.

Setidaknya di Amerika, pencapaian Alex Honnold tersebut sudah mencapai mainstream, karena project free soloing El Cap-nya diabadikan dalam sebuah film berjudul Free Solo. Film dokumenter tersebut disutradarai oleh Jimmy Chin dan berhasil memenangkan piala Oscar 2019 sebagai best documentary feature. Namun, tidak adil rasanya jika hanya Alex yang mendapatkan paparan mainstream sebesar itu, karena ekspedisi dunia sport climbing pun tidak kalah ambisius. Spesifiknya, tulisan ini akan memperkenalkan seorang pemanjat elit dunia bernama Adam Ondra, sembari memberikan penjelasan singkat tentang panjat tebing sebagai olahraga.

Adam Ondra sering digadang-gadangkan sebagai pemanjat terbaik di generasinya. Ia lahir di Brno, Cekoslovakia, pada tanggal 5 Februari 1993. Berbeda dengan Alex Honnold, Adam Ondra bukanlah pemanjat yang dikenal melalui project free solo-nya. Ia lebih dikenal sebagai pemanjat jangkung berbadan lentur yang gemar berteriak sekuat tenaga, dengan gaya panjat mendetil dan out of the box. Sebelum membahas Adam Ondra lebih dalam, pertama-tama kita harus mengerti beberapa konsep penting mengenai panjat tebing. Apa itu sport climbing?

Penjelasan singkat: alpinisme vs sport climbing
Alpinisme (mountaineering) dan sport climbing adalah contoh manifestasi pepatah “bagai pinang dibelah dua”. Keduanya memiliki banyak persamaan dan bukan hal aneh jika definisi dari alpinisme dan sport climbing seringkali tertukar. Dalam tataran ideal, keduanya sama-sama berusaha untuk menaklukan tantangan sambil menjaga kelestarian alam. Dalam ranah teknis, alpinisme dan sport climbing sama-sama mengharamkan penggunaan alat bantu artifisial ─ seperti piton atau fixed rope ─ dalam melakukan ascent.

Meski keduanya memiliki banyak kemiripan ide dan praktek, namun alpinisme dan sport climbing dipisahkan oleh perbedaan mendasar. Prinsip fundamental yang perlu digarisbawahi dalam alpinisme adalah; yang penting menginjakkan kaki di puncak. Hematnya, pemahaman mengenai prinsip alpinisme dapat dirangkum dalam satu pertanyaan: kalau anda bisa mencapai puncak El Capitan lewat jalur belakang dengan berjalan kaki, kenapa harus repot-repot memanjat tebing vertikalnya?

Di situlah letak perbedaan antara alpinisme dengan sport climbing. Motivasi alpinisme adalah mencapai puncak, sedangkan sport climbing lebih menitikberatkan tingkat kesulitan. Dengan lahirnya sport climbing, poin utama kegiatan memanjat ─ yang mulanya bertujuan untuk mencapai puncak dari fitur geografis suatu tempat ─ bergeser menjadi: mencapai top (titik akhir rute panjat) dari suatu jalur panjat spesifik.

Titik top dari rute sport climbing tidak harus berakhir di titik puncak suatu tebing. Jalur panjat bisa saja selesai di tengah-tengah/bawah tebing. Sebagai contoh: panjang jalur Putih di Tebing Panjat Ciampea Bogor dari start-top adalah ± 7 meter, sedangkan tinggi dari tebingnya sendiri lebih dari 20 meter.

Meski terdapat banyak ascent yang melibatkan panjat tebing, namun falsafah alpinisme mendominasi mazhab sport climbing ─ setidaknya hingga tahun 70 dan 80-an. Dunia panjat tebing berkembang pesat pasca dasawarsa 1970–an, bahkan dapat kita katakan bahwa sport climbing modern lahir di era tersebut. Figur yang berperan besar disini adalah Kurt Albert, seorang pemanjat yang dilahirkan tahun 1954 di Nürnberg, Jerman. Beliau merupakan seorang pemanjat tebing yang pertama kali mencetuskan konsep Rotpunkt (redpoint).

Revolusi redpoint
Rotpunkt (redpoint) adalah komposita Bahasa Jerman yang terdiri dari dua kata, yaitu rot (merah) dan Punkt (titik). Jika anda bertanya-tanya mengapa saya mencantumkan penjelasan semantis di dalam artikel bertemakan panjat tebing, mohon berikan saya waktu untuk menjelaskan redpoint.
Semuanya diinisiasi oleh Kurt Albert di Frankenjura, Jerman, tahun 1975.

Di tahun 1975, Kurt Albert mulai menandakan beberapa jalur panjat Frankenjura dengan titik merah (Rotpunkt). Titik merah tersebut dimaksudkan sebagai penanda bahwa ia telah berhasil menyelesaikan rute tersebut secara free climb. Free climb merupakan istilah yang digunakan untuk metode panjat yang hanya memanfaatkan fitur alami tebing, tanpa alat bantu artifisial. Berbeda dengan aid climbing, alat yang digunakan dalam free climbing hanya digunakan sebagai pengaman untuk menjaga keselamatan pemanjat.

Yang mulanya hanyalah sebuah banyolan, titik merah yang disematkan Kurt Albert tersebut justru berangsur-angsur mengubah struktur dan sistem sport climbing secara radikal. Dari segi teknis, tidak terdapat perbedaan berarti di antara redpoint dengan metode panjat tebing yang sudah ada sebelumnya ─ cara memanjatnya tetap sama, pun begitu dengan alat yang digunakan. Namun, revolusi redpoint terletak di: pendekatan serta pola pikir pemanjat dalam melakukan ascent.

Sebelum adanya konsep redpoint, proses riset dan latihan untuk menyelesaikan suatu rute panjat bukanlah praktek yang lumrah dijalankan. Riset yang dimaksud disini adalah proses mempelajari beta (langkah teknis menyelesaikan suatu bagian jalur panjat; gerakan, cara memegang hold, dll.). Riset dapat dilakukan dengan cara mencontek beta milik orang yang sudah menyelesaikan jalur tersebut, atau anda juga bisa memilih untuk menguliknya sendiri. Yang jelas, redpoint harus dilakukan sekali jalan tanpa terjatuh, dan jika anda terjatuh, maka anda harus mengulang dari awal.

Semuanya akan lebih mudah jika pemanjat mengikuti beta orang yang sudah menyelesaikan suatu jalur. Tapi, suatu beta tidak melulu dapat dilakukan oleh semua orang karena masing-masing pemanjat memiliki gaya memanjatnya sendiri, serta kondisi fisik yang berbeda pula (tinggi badan, jangkauan, endurance, dll.). Dengan lahirnya redpoint, trial and error suatu beta secara otomatis masuk kedalam proses ascent.

Free climb: flash dan onsight
Disamping redpoint,
flash dan onsight juga merupakan konsep yang wajib dipahami dalam sport climbing. Baik redpoint, flash maupun onsight, semuanya dilakukan secara free climb. Perbedaan dari ketiganya ada di; pengetahuan pemanjat ketika melakukan ascent. Jika dalam redpoint pemanjat boleh mempelajari dan mencoba beta dari suatu rute sebelum percobaan memanjat, lain kasusnya dengan flash dan onsight.

Dalam percobaan onsight, pemanjat tidak memiliki pengetahuan apapun soal beta. Pemanjat hanya perlu datang ke jalur tersebut, memperhatikan pegangan yang ada di tebing dan melakukan visualisasi mengenai bagaimana sekiranya ia harus memanjat. Jika pemanjat berhasil mencapai top dalam percobaan pertama tanpa pengetahuan beta sedikitpun, maka ascent tersebut dapat digolongkan sebagai onsight.

Tidak begitu berbeda dengan onsight, flash pun merupakan istilah yang digunakan untuk ascent percobaan pertama. Namun, berbeda dengan onsight, pemanjatan flash memperbolehkan sedikit pengetahuan beta. Jika pemanjat sudah melihat beta milik orang lain; misal lewat video/melihat langsung, atau jika pemanjat diberitahukan cara memanjat jalur tertentu oleh orang yang sudah berhasil menyelesaikan jalur tersebut, maka percobaan pertama tersebut digolongkan sebagai flash attempt.

Grade tebing panjat
Masing-masing jalur panjat tebing memiliki grade yang menggambarkan kesulitannya. Semakin besar angkanya, maka semakin tinggi tingkat kesulitannya.
Dalam rock climbing, terdapat dua sistem yang lazimnya digunakan untuk menggambarkan grade suatu rute, yaitu Yosemite Decimal System (YDS) dan French Scale. Penulisan artikel ini hanya menggunakan YDS, karena sistem tersebut digunakan di Indonesia.

Grade YDS dituliskan dengan satu angka (1-5) yang menggambarkan klasifikasi berdasarkan tingkat kesulitan. Angka 1-4 digunakan khusus untuk jalur daki yang masih tergolong kedalam trekking. Angka 1 memiliki arti bahwa rute tersebut datar dan mudah, sedangkan angka 2 menggambarkan bahwa jalurnya terjal. Angka 3 lebih sulit dari angka 2, dan angka 4 lebih sulit dari angka 3. Pengecualian dalam YDS berlaku untuk angka 5, karena angka 5 merupakan kategori khusus untuk rute sport climbing. Dengan begitu, grade 5 dalam YDS memiliki sub-kategori ─ dituliskan dalam bentuk angka setelah tanda titik (5.1, 5.2, 5.3, dan seterusnya).

Meski YDS dan French Scale berbeda, namun prasyarat untuk menentukan grade suatu jalur harus melalui proses yang sama. Grade dari suatu rute diajukan oleh pemanjat yang berhasil melakukan first ascent (pemanjatan sukses pertama) dengan mempertimbangkan setiap hal relevan yang menyebabkan suatu jalur diberikan grade tertentu. Setelah adanya first ascent, bukan berarti bahwa rute tersebut otomatis akan memiliki grade sesuai dengan yang diajukan, karena terdapat tahap konfirmasi. Konfirmasi dilakukan oleh pemanjat lain yang berhasil melakukan repeat. Repeat merupakan istilah yang digunakan untuk pemanjatan sukses kedua dan seterusnya.

Sebagai contoh, pemanjat A melakukan first ascent jalur DOREMI, dan dengan segala pertimbangan, ia mengajukan grade 5.10 sebagai tingkat kesulitan rute tersebut. Kemudian pemanjat B melakukan repeat. Pemanjat B dapat mengkonfirmasi apakah jalur tersebut benar-benar memiliki grade 5.10. Tahap konfirmasi adalah tahap yang penting dalam menentukan grade jalur, karena disitu nama baik pemanjat first ascent dipertaruhkan. Jika pemanjat B setuju bahwa grade jalur DOREMI adalah 5.10, maka grade 5.10 akan menjadi grade resmi. Namun, jika pemanjat B merasa bahwa rute DOREMI tidak sesulit/semudah 5.10, maka jalur DOREMI akan di-upgrade/downgrade. Jika kedua pemanjat tidak menemukan konsensus, biasanya suatu rute akan memiliki dua grade tertulis. Contoh: Pemanjat B merasa bahwa jalur DOREMI seharusnya memiliki grade 5.9, maka grade resmi dari jalur DOREMI adalah 5.9/5.10, yang berarti; grade jalur DOREMI berada di antara 5.9 dan 5.10.

Adam Ondra dan pencapaiannya
Setelah mendapatkan gambaran soal panjat tebing, kita akan menyelam ke dalam pencapaian Adam Ondra. Pertama-tama, mari kita bandingkan Adam dengan Alex Honnold. Redpoint tersulit yang pernah diselesaikan Alex Honnold adalah Arrested Development di Amerika dengan grade 5.14d. Sedangkan Adam telah mengantongi 3 onsight untuk grade setara. TCT, Il Domani dan La Cabane Au Canada adalah 3 rute grade 5.14d yang telah diselesaikan Adam secara onsight. Untuk flash ascent, Adam berhasil menaklukan grade 5.15a, rute Super Crackinette.

Pencapaian tertinggi Adam terjadi di tahun 2017 ketika ia berhasil melakukan first ascent rute bernama Silence di Flatanger, Norwegia. Silence adalah tebing overhang sepanjang ± 45 meter dengan sudut kemiringan ± 30 derajat. Untuk melewati crux (bagian tersulit) dari Silence, Adam harus memanjat dengan kaki di atas karena pegangan di bagian tersebut mustahil untuk digapai dengan tangan. Meski belum terkonfirmasi ─ karena belum ada yang berhasil melakukan repeat ─ Adam mengatakan bahwa grade dari Silence adalah 5.15d. Ia merupakan satu-satunya pemanjat yang telah berhasil menaklukan grade 5.15d ─ setidaknya hingga Agustus 2020, ketika Alexander Megos berhasil menaklukan Bibliographie (5.15d) di Céüse, Perancis.

Dengan begitu, redpoint Alex dan Adam dipisahkan oleh tiga grade, yaitu 5.15a, 5.15b dan 5.15c. Dengan kata lain, Alex Honnold berdiri 4 level dibawah Adam Ondra. Mungkin empat level tidak terdengar signifikan, namun dalam konteks tingkat kesulitan rute panjat, empat level itu selayaknya bumi dan langit.

Mari kita gunakan pendekatan statistik untuk memahami betapa signifikannya empat level grade panjat. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh majalah Rock and Ice, per 4 Februari 2020, hanya ada ± 300 orang yang telah berhasil menyelesaikan rute panjat dengan grade 5.15. Sebagai pembanding, puncak Everest pernah dijajaki oleh 5000 orang. Sedangkan puncak K2 ─ yang menurut NASA merupakan puncak tersulit ke-2 setelah Annapurna I ─ telah didaki oleh lebih dari 350 orang. Dapat dikatakan bahwa pemanjat yang berhasil menyelesaikan rute grade 5.15 hanyalah pemanjat elit dunia.

Saat artikel ini ditulis, hanya ada 5 orang yang telah berhasil memanjat rute dengan grade 5.15c, yaitu: Adam Ondra, Chris Sharma, Alexander Megos, Jakob Schubert dan Stefano Ghisolfi. Tahukah anda bahwa 12 orang telah menginjakkan kaki di Bulan? Ya, secara statistik, menyelesaikan grade 5.15c itu dua kali lebih mustahil daripada pergi ke bulan. Sudahkah anda paham mengapa perbedaan empat level itu selayaknya bumi dan langit?

Hingga artikel ini terbit, hanya ada empat rute panjat dengan grade 5.15c di seluruh dunia: La Dura Dura di Oliana, Spanyol; Change di Flatanger, Norwegia; Vasil Vasil di Brno, Cekoslovakia, dan; Perfecto Mundo di Margalef, Spanyol. Dari keempat rute tersebut, Adam sudah menaklukan ketiganya, dan pada saat artikel ini ditulis ia tengah menjalani project Perfecto Mundo ─ meski masih belum berhasil. Satu-satunya pemanjat lain yang telah menyelesaikan lebih dari satu 5.15c adalah Stefano Ghisolfi ─ ia berhasil menyelesaikan Perfecto Mundo dan Change.

0 comment(s):

Post a Comment